Dr
Alfian menyebut Tan Malaka sebagai revolusioner kesepian. Mungkin tidak
berlebihan. Tan Malaka memang pejuang kesepian dalam arti sesungguhnya.
Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan Malaka hidup dalam pembuangan, tanpa
didampingi teman seperjuangan. Beberapa kali dia harus meringkuk di
penjara negara imperialis saat berada di Filipina dan Hong Kong, serta
selama dua setengah tahun dipenjarakan tanpa pengadilan oleh pemerintah
republik yang ia cita-citakan.
Hampir seabad lampau, pada 1912, gelar Datuk Tan Malaka disematkan kepada remaja bernama Ibrahim.
Ibra dilahirkan di sebuah surau-juga
dijadikan tempat tinggal-yang cuma beberapa langkah dari rumah gadang.
Kini surau itu tidak ada. Tanah tempat surau itu berdiri telah menjadi
sawah.
Tak ada catatan resmi dan meyakinkan
ihwal tanggal lahir Tan Malaka. Satu-satunya penulis yang lengkap
menyebut waktu kelahirannya, yakni 2 Juni 1897, adalah Djamaluddin
Tamim, teman seperjuangan Tan, dalam Kematian Tan Malaka. Ayah Tan,
Rasad, berasal dari puak Chaniago, sedangkan ibunya, Sinah, berpuak
Simabur. Ibra adalah sulung dari dua bersaudara. Adiknya bernama
Kamaruddin, enam tahun lebih muda daripada sang kakak.
Ibra adalah potret bocah lelaki
Minangkabau. Gemar sepak bola, main layang-layang, dan berenang di
sungai. Selepas magrib dia mengaji, lalu tidur di surau. Anak lelaki,
begitu kelaziman setempat, segan menginap di rumah ibunya. “Ibra seorang
anak pemberani, bandel, dan nekat, tapi tak pernah meninggalkan
sembahyang. Ia hafal Quran,” kata Zulfikar, mengenang kesaksian
Kamaruddin.
Pada 1907 Ibra terdaftar di Fort de
Kock. Rudolf Mrazeck, penulis buku Tan Malaka, menyebut Fort de Kock
adalah rantau pertama Ibra. Para tetua kampung melepasnya. Merantau
adalah jiwa masyarakat Minangkabau. Seorang perantau diyakini bakal
membawa nilai-nilai kebaikan yang ada di dunia luar sana. Sistem
matrilineal, juga adat anak lelaki yang tidur di luar rumah, adalah
sebagian instrumen yang mendorong lelaki yang beranjak dewasa segera
“terusir” dari kampung.
Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh
pelbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik,
hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia,
lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini
merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik
Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik
Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang
menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan
pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis
Menuju Indonesia Merdeka (1933).
Buku Naar de Republiek dan Massa Actie
(1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi
tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik,
misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan
mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno
memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan
Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran
menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham
dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.
W.R. Supratman pun telah membaca habis
Massa Actie. Ia memasukkan kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku” ke
dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa
Actie, pada bab bertajuk “Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan
antara lain menulis, “Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri….
Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”
Di seputar Proklamasi, Tan menorehkan
perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di
Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat
yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan
yang waktu itu belum bergema keras dan “masih sebatas catatan di atas
kertas”. Tan menulis aksi itu “uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan
lawan”. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan
gencar.
Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi
cerita menarik tersendiri. Poeze bertahun-tahun mencari bukti kehadiran
Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar
Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah
memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual.
Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari
Berita Film Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan
sekitar 200 ribu orang dari pelbagai daerah bukan perkara mudah.
Poeze mengambil jalan berputar. Ia
menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11
negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi
perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa
paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam
gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana
selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung
ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda,
Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki
23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan
sepanjang 89 ribu kilometer-dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di
Amerika Latin.
Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa
tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan
bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong.
“Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang
jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan,” ucap Tan.
Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi
Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165
sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari
ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan
dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan menggerakkan
pemuda.
Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah
yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih
berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh,
sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan
gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan
setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan
Sekutu. Tanpa itu, nonsens.
Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah
melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922.
Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir
kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga
menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI
1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik
belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada
kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur
kekuatan komunis masih ringkih. “Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang
dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak
matang.
Penolakan ini tak urung membuat Tan
disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah
segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional
Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis
Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang
komunis, tapi kata Tan, “Di depan Tuhan saya seorang muslim” (siapa
sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah
menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar