Tokoh kita ini adalah Raden Adipati Aria Muharam Wiranatakusumah.
Muharam adalah nama kecilnya. Wiranatakusumah V adalah gelarnya sebagai
Bupati Bandung. Ia lahir di Bandung, 8 Agustus 1888. Versi lain
menyebutkan 23 November 1888. Wiranatakusumah adalah putra dari pasangan
R. Adipati Kusumahdilaga dan R. A. Soekarsih.
Ayahnya adalah Bupati Bandung
(1874-1893). Ketika Muharam berusia lima tahun, ayahnya wafat. Ia lalu
diasuh dan dididik oleh ibunya hingga usia sembilan tahun. Setelah
ayahnya mangkat, ditunjuklah tiga orang sebagai walinya, yaitu R.
Martanagara (Bupati Bandung), R. Ardinagara (Jaksa Bandung), dan
Suriadiningrat (Camat Cilokotot/Cimahi). Kepada ketiganya juga
dipasrahkan kewajiban untuk mengurus semua warisan Kusumahdilaga.
Pada usia sembilan tahun, Muharam
dititipkan pada keluarga Adams untuk mendapatkan pendidikan ala Barat.
Sekolah formal yang sempat diikutinya adalah ELS (1901), sempat
melanjutkan ke OSVIA hingga kelas III, kemudian atas anjuran dr. Snouck
Hurgronje, pada 1904 ia pindah ke HBS atau Gymnasium Willem III di
Batavia dan mendapatkan diploma pada 1910.
Di Batavia, Muharam tinggal di rumah
inspektur sekolah Hellwig. Selain belajar di sekolah, setiap hari
Minggu, dari jam 9.00-16.00, ia mendapatkan pelajaran tambahan di rumah
Hurgronje. Ia belajar bahasa Prancis, Jerman, dan Inggris. Ketika R.
Ardinagara wafat, Hurgronje menggantikannya sebagai wali bagi Muharam.
Selain Hurgronje, tokoh lain yang ikut membentuk kepribadian Muharanm
adalah Prof. G. J. A. Hazeu.
Mengenai kehidupannya di dua dunia Timur
dan Barat ini, Muharam menuturkan kebimbangannya sebagai seorang
bumiputra, yang dipaksa keadaan harus mengenal budaya asing, yaitu
Eropa. Ia menjelaskan pertentangan batinnya yang hebat melihat perbedaan
dua dunia itu. Ia merasa seperti dipindahkan dari dunia bumiputra ke
dunia Eropa.
”Saya rasakan bagaimana sejak kecil hati
saya tertarik ke dalam dunia bumiputra, dan saya rasakan pula betapa
beberapa hal yang mendesak saya ke dunia Eropa,” katanya waktu itu.
Dua dunia itu diakuinya membuatnya gamang
dan mengalami pertentangan batin. Sekalipun demikian, ia mengakui bahwa
pada akhirnya ia berhasil mendamaikan kedua dunia itu. Pengalaman batin
ini boleh disebut sebagai pertemuan budaya Timur dan Barat.
Setelah lulus HBS, Muharam diangkat
sebagai juru tulis di Kecamatan Tanjungsari dengan gaji 30 gulden. Lalu
dengan keputusan Residen Priangan tertanggal 11 Januari 1911, Nomor
829/8, ia diangkat menjadi mantra polisi di Cibadak Sukabumi. Tak
berselang lama ia diangkat sebagai camat di Cibeureum Sukapura
(Tasikmalaya). Melihat prestasi kerjanya yang mengesankan, tahun 1912,
pada usianya yang ke-24, ia diangkat sebagai Bupati Cianjur. Setelah
meraih berbagai prestasi, pada 1920 ia pindah menjadi Bupati Bandung.
Setahun berselang, ia terpilih sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat)
mewakili Sedio Moelio, perhimpunan para bupati.
Muharam Wiranatakusumah adalah sosok yang masagi. Sebagai ambtenaar
ia disegani atasan dan dicintai bawahan dan rakyatnya. Sebagai seorang
Muslim, ia mendalami keilmuan Islam hingga layak disebut sebagai ulama.
Karya-karya tulisnya dalam kajian Islam bisa menjelaskan predikat itu.
Karyanya antara lain: ”Islam dan Demokrasi”, ”Arti Penting Hari-hari
Besar Islam”, ”Tafsir Surat Al-Baqarah”, ”Riwayat Kangjeng Nabi”,
”Mi`raj Kangjeng Nabi”, dan ”Khalwat”.
Nama Wiranatakusumah juga melekat dengan
sejarah film Indonesia yang pertama, ”Loetoeng Kasaroeng”, 1926. Selain
membantu biaya produksi film bisu tersebut, anaknya pun ada yang ikut
bermain. Lima tahun sebelumnya, 1921, ia memprakarsai drama modern
Sunda dalam lakon yang sama. ”Tunil Loetoeng Kasaroeng” itu digelar
dalam rangka memeriahkan kongres Java Instituut di Bandung. Drama
kolosal tersebut ditampilkan dalam panggung raksasa, dibangun di depan
pendopo kabupaten. Ditonton ribuan orang, tunil itu dilukiskan sangat
memukau. Bahkan sinyo-noni Belanda waktu itu, belum pernah ada yang
tampil di panggung terbuka. Pentas terbuka seperti itu baru menjadi tren
di Eropa dan Wiranatakusumah berhasil menghadirkannya di Bandung. Karya
ini merupakan kolaborasi antara Bupati Bandung, Kartabrata, D.K.
Ardiwinata, dan Yudadibrata.
Wiranatakusumah dan Negara Pasundan
Pada masa revolusi (1947 – 1949), Jawa
Barat merupakan salah satu daerah terpenting di Indonesia dalam
perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada masa ini, di Jabar berdiri
dua kali Negara Pasundan. Pertama, Negara Pasundan yang didirikan oleh
Soeria Kartalegawa pada 1947. Kedua, Negara Pasundan yang dihasilkan
melalui Konferensi Jabar dengan wali negaranya R.A.A. Wiranatakusumah
pada 1948. Negara Pasundan yang pertama kurang didukung oleh tokoh-tokoh
Jabar sehingga tidak berjalan, sedangkan yang kedua melibatkan
tokoh-tokoh Jabar melalui konferensi.
Ada dua sikap politik dari para tokoh
Jabar dalam keterlibatan Negara Pasundan yang kedua, yaitu federalis dan
republiken. Federalis adalah sikap yang mendukung terhadap terbentuknya
Republik Indonesia Serikat (RIS) sedangkan republiken menolak
terbentuknya RIS dan mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Keterlibatan para tokoh republiken pada Negara Pasundan, lebih
banyak merupakan strategi politik agar Jabar tidak lepas dari RI. Salah
satu tokoh penting dalam perjuangan tersebut adalah Wiranatakusumah yang
diangkat menjadi pimpinan Negara Pasundan.
“Raja Sunda” terakhir
Jika dilihat dari sisi sebagai orang
Sunda, Wiranatakusumah adalah tokoh dengan jabatan tertinggi yang bisa
diraih pribumi, baik secara struktural (bupati) maupun kultural (PPBB).
Apalagi, selain itu, ia juga pernah menjabat Ketua Sedio Moelio,
asosiasi bupati se-Hindia Belanda. Ditambah kedudukannya sebagai pendiri
dan penasihat dalam berbagai kelompok kebudayaan, bukan mengada-ada
jika Wiranatakusumah disebut sebagai “Siliwangi” modern. Dia bahkan
mempunyai pengaruh yang lebih luas, menjangkau seluruh wilayah
nusantara, tanpa kehilangan segala atribut kesundaannya. Rasanya tak
berlebihan jika ia dijuluki “Raja Sunda” terakhir.
Setelah Wiranatakusumah, tak ada lagi
tokoh Sunda yang memiliki pengaruh sekuat dirinya. Memang banyak orang
Sunda yang tampil di pentas Jawa Barat atau nasional, tetapi kurang
berakar di tengah masyarakatnya sendiri. Kebanyakan mereka
“terpelanting” ke pusat-pusat kekuasaan karena faktor kedekatan dengan
penguasa.
Apakah Wiranatakusumah layak menjadi
pahlawan nasional? Ah, biarlah hal itu jadi diskursus bagi para
sejarawan dan Badan Pembinaan Pahlawan Daerah saja. Bagi nonoman Sunda
yang melek, Wiranatakusumah sudah menjadi pahlawan. Pengakuan negara
hanyalah legitimasi administratif yang tidak perlu diminta-minta.
Biarkanlah waktu yang akan mengujinya. Sebab, sebagaimana dikatakan
Wiranatakusumah ketika menolak anugerah bintang pada 1948, “Belum pantas
saya menerima bintang. Negara itu bukanlah saya, akan tetapi negara itu
rakyat. Maka dalam tahun-tahun yang terakhir dari umur saya ini, saya
akan bekerja lebih keras, menjelmakan cita-cita, tekad mengangkat rakyat
ini dari kemiskinan dan kesengsaraan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar