Ini
adalah posting ulang dari beberapa web/blog tentang “Kapitan
Patimura”…. yang rata-rata bersumber dari http://swaramuslim.net ,
perdebatan mengenai muslim or kristen kah Kapitan Patimura menjadi tema
tersendiri dalam kronik sejarah perlawanan rakyat nusantara terhadap
Belanda.
Berikut tulisan tentang : Meluruskan sejarah Kapitan Ahmad `Pattimura’ Lussy yang dimuat di swaramuslim.net
Berikut tulisan tentang : Meluruskan sejarah Kapitan Ahmad `Pattimura’ Lussy yang dimuat di swaramuslim.net
patimuraTokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi dia lebih dikenal dengan Thomas Mattulessy yang identik Kristen.
Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minor atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan/atau Indonesia umumnya.
Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minor atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan/atau Indonesia umumnya.
Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu
(Saya katakan kepada kamu sekalian
(bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap beringin besar akan
tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula) saya
katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap
batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya).
Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil
itu diucapkan oleh Kapitan Ahmad Lussy atau dikenal dengan sebutan
Pattimura, pahlawan dari Maluku. Saat itu, 16 Desember 1817, tali
hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari ucapan-ucapannya,
tampak bahwa Ahmad Lussy seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak
takut ancaman maut. Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri
di hadapan musuh. Ahmad Lussy juga tampak optimis.
Namun keberanian dan patriotisme
Pattimura itu terdistorsi oleh penulisan sejarah versi pemerintah. M
Sapija, sejarawan yang pertama kali menulis buku tentang Pattimura,
mengartikan ucapan di ujung maut itu dengan “Pattimura-Pattimura tua
boleh dihancurkan, tetapi kelak Pattimura-Pattimura muda akan bangkit”.
Namun menurut M Nour Tawainella, juga seorang sejarawan, penafsiran
Sapija itu tidak pas karena warna tata bahasa Indonesianya terlalu
modern dan berbeda dengan konteks budaya zaman itu.
Di bagian lain, Sapija menafsirkan,
“Selamat tinggal saudara-saudara”, atau “Selamat tinggal tuang-tuang”.
Inipun disanggah Tawainella. Sebab, ucapan seperti itu bukanlah tipikal
Pattimura yang patriotik dan optimis.
Puncak kontroversi tentang siapa
Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy dengan nama Thomas Mattulessy,
dari nama seorang Muslim menjadi seorang Kristen. Hebatnya, masyarakat
lebih percaya kepada predikat Kristen itu, karena Maluku sering
diidentikkan dengan Kristen.
Muslim Taat
Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku
disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti
yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Ia bangsawan dari
kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman.
Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim
Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Menurut sejarawan Ahmad Mansyur
Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim yang taat. Selain keturunan
bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada
masa itu semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau
ulama, atau keduanya.
Bandingkan dengan buku biografi Pattimura
versi pemerintah yang pertama kali terbit. M Sapija menulis, “Bahwa
pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina
(Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari
Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja
Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang
terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.
Ada kejanggalan dalam keterangan di atas.
Sapija tidak menyebut Sahulau itu adalah kesultanan. Kemudian ada
penipuan dengan menambahkan marga Pattimura Mattulessy. Padahal di
negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy. Di sana hanya
ada marga Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman.
Jadi asal nama Pattimura dalam buku
sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sedangkan Mattulessy
bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy. Dan Thomas Mattulessy
sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku.
Berbeda dengan Sapija, Mansyur
Suryanegara berpendapat bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai
sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama
Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu
Pattimura.
Masih menurut Mansyur, mayoritas
kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam. Di antaranya adalah
kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga
orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri
Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan Maluku.
Mansyur pun tidak sependapat dengan
Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan Kristen. Penulis
buku Menemukan Sejarah (yang menjadi best seller) ini mengatakan, “Kalau
dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja dari udara (dari
pesawat), banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak
menara masjid daripada gereja.”
Sejarah tentang Pattimura yang ditulis M
Sapija, dari sudut pandang antropologi juga kurang meyakinkan. Misalnya
dalam melukiskan proses terjadi atau timbulnya seorang kapitan. Menurut
Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal tidak.
Leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah
dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan
mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka,
menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu,
tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka
takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan
kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki
seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa
yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu
adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap
memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun.
Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara
genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari
sinilah sebenarnya sebutan “kapitan” yang melekat pada diri Pattimura
itu bermula.
Perlawanan rakyat Maluku terhadap
pemerintahan kolonial Hindia Belanda disebabkan beberapa hal. Pertama,
adanya kekhawatiran dan kecemasan rakyat akan timbulnya kembali
kekejaman pemerintah seperti yang pernah dilakukan pada masa
pemerintahan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Kedua, Belanda
menjalankan praktik-praktik lama yang dijalankan VOC, yaitu monopoli
perdagangan dan pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi adalah polisi laut yang
membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda.
Ketiga, rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban
kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.
Akibat penderitaan itu maka rakyat Maluku
bangkit mengangkat senjata. Pada tahun 1817, perlawanan itu dikomandani
oleh Kapitan Ahmad Lussy. Rakyat berhasil merebut Benteng Duurstede di
Saparua. Bahkan residennya yang bernama Van den Bergh terbunuh.
Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya.
Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan
untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula
Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda meminta bantuan dari
pasukan yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat
dan perlawanan rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan
kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad
Lussy beserta kawan-kawannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan.
Nama Pattimura sampai saat ini tetap
harum. Namun nama Thomas Mattulessy lebih dikenal daripada Ahmad Lussy
atau Mat Lussy. Menurut Mansyur Suryanegara, memang ada upaya-upaya
deislamisasi dalam penulisan sejarah. Ini mirip dengan apa yang terjadi
terhadap Wong Fei Hung di Cina. Pemerintah nasionalis-komunis Cina
berusaha menutupi keislaman Wong Fei Hung, seorang Muslim yang penuh
izzah (harga diri) sehingga tidak menerima hinaan dari orang Barat.
Dalam film Once Upon A Time in China, tokoh kharismatik ini diperankan
aktor ternama Jet Li.
Dalam sejarah Indonesia, Sisingamangaraja
yang orang Batak, sebenarnya juga seorang Muslim karena selalu
mengibarkan bendera merah putih. Begitu pula Pattimura.
Ada apa dengan bendera merah putih?
Mansyur merujuk pada hadits Imam Muslim dalam Kitab Al-Fitan Jilid X,
halaman 340 dari Hamisy Qastalani. Di situ tertulis, Imam Muslim
berkata: Zuhair bin Harb bercerita kepadaku, demikian juga Ishaq bin
Ibrahim, Muhammad bin Mutsanna dan Ibnu Basyyar. Ishaq bercerita kepada
kami. Orang-orang lain berkata: Mu’adz bin Hisyam bercerita kepada kami,
ayah saya bercerita kepadaku, dari Qatadah dari Abu Qalabah, dari Abu
Asma’ Ar-Rahabiy, dari Tsauban, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah
memperlihatkan kepadaku bumi, timur dan baratnya. Dan Allah melimpahkan
dua perbendaharaan kepadaku, yaitu merah dan putih”.
Demikianlah pelurusan sejarah Pattimura
yang sebenarnya bernama Kapitan Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Wallahu
A’lam Bish Shawab.* (dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar